[NC11-Win] Umumnya anak Indigo berkepintaran tinggi, walaupun tidak bisa diukur dengan prestasi sekolah dengan ukuran peringkat. Mereka punya kemampuan berpikir, berdialog setingkat orang dewasa. Jadi, hati-hati kalau berhadapan dengan seorang indigo jangan mengukur kemampuan berpikir mereka dari usia dan pendidikannya.
Terkadang apa yang tidak sampai dalam alam pikir kita sebagai orang dewasa, indigo bisa mencapainya. Jadi, terkesan ia banyak akalnya dan banyak maunya, menjadikan mereka suka dicap sebagai anak kecil “sok tahu” atau kalau orang dewasa dicap sebagai orang sombonglah karena suka menganggap lawan berdialog “telmi” (telat mikir).
Anehnya apa yang mereka mau, umumnya akan didapatkan dengan mudah dan terkesan tidak masuk akal. Misalnya, anak indigo merengek pada mamanya minta kue kesukaannya, tetapi karena banyak hal sang mama tidak bisa memberinya, dia menangis sambil sesumbar kalau hari ini dia pasti mendapatkan kue tersebut dan dengan tegas dia katakan berulang-ulang pasti akan mendapatkannya!
Sang Mama hanya menghela napas di dalam batin berguman sendiri, yang mengatakan walaupun kamu menangis memangnya siapa yang mau memberikan kue kesukaanmu? Tetapi, apa yang terjadi, sore hari sang ayah pulang sambil membawa kue yang dinanti dan ayah mendapatkannya sebagai oleh-oleh dari seorang relasi yang berkunjung ke kantor. Nah kebetulan bukan!
Jadi, jangan menyepelekan tekad mereka untuk mendapatkan.
Indigo banyak yang memunyai kemampuan di luar nalar. Misalnya, dia bisa melihat dan berdialog dengan teman-teman di alam lain yang tidak bisa dilihat orang lain atau mendadak piknik keluarga yang sudah dirancang matang jauh hari sebelumnya hanya karena dia merasakan akan mendapat rintangan atau kecelakaan dalam perjalanan, jadi batal.
Nah itulah dilema bagi lingkungannya karena kalau intuisi sang indigo dipercaya, batallah piknik keluarga hanya karena perasaan yang tidak berdasar. Tetapi, kalau ditentang juga sudah ada rasa takut bahwa itu adalah firasat dan semua bisa saja terjadi. Akhirnya indigo juga dikecam sebagai “biang kerok” lah, bahkan ada yang menganggapnya sebagai orang sakit jiwa sampai-sampai diharuskan bahkan dipaksa untuk mau diterapi psikiater.
Ada seorang remaja datang menangis sambil bertutur bahwa dia bukan mengkhayal, atau gila seperti yang orangtuanya tuduhkan kepadanya. Yaitu bahwa dia betul-betul melihat makhluk-makhluk pengganggu yang selalu mendatanginya dan menyebabkan salah satu anggota keluarga tersebut sakit berat.
Dia katakan kenapa sering melempar barang-barang dalam kamar atau di ruang lain dalam rumah hanya karena dia melihat dan ingin mengusir makhluk-makhluk menyeramkan yang dilihatnya dengan lemparan tersebut, tetapi sang ibu yang merasa sebagai keluarga yang taat dalam beragama kalau sampai mempercayai hal-hal yang dituturkan anaknya adalah sesuatu yang memalukan.
Karena itu, sang ibu berkilah mana ada makhluk halus (setan) yang berani mengusik keluarganya, padahal mereka taat beribadah, rajin berdoa dan sebagainya. Akibatnya vonis yang dianggap tidak waras dan ditempatkannya “sementara” dia untuk dirawat di Klinik Rehabilitasi Jiwa di Jawa Timur. Katakanlah sungguh sangat beruntung kalau anak indigo lahir di tengah-tengah keluarga yang memang punya karunia itu atau paling tidak memahaminya, seperti ibu yang penulis kenal baik, sang ibu bertutur kalau dia dulu sering dimarahi, bahkan dipukul karena sang mama yang panik ketakutan karena diteriaki banyak makhluk kecil yang menyeramkan merambat di tubuh sang mamanya.
Sekarang anak tersebut sudah menjadi seorang ibu yang berputra-putri tiga orang dan semua seperti dirinya, putri terbesar memunyai ketajaman intuisi yang luar biasa sampai-sampai semua program yang dibuatnya hampir selalu gol. Misalnya masuk sekolah dengan uang bayaran yang jauh di bawah teman-temannya supaya uang yang diberikan ayahnya tersisa untuk membeli barang-barang khayalannya.
Anehnya, jumlah angka rupiahnya bisa persis yang dia rancang dan putri itu punya kharisma yang bisa membuat teman-teman mau membantu apa saja keperluannya mulai dari hal-hal sepele sampai hal-hal yang besar dan repot.
Putra kedua seperti ibunya melihat makhluk-makhluk halus berkeliaran dan membuatnya mendapat julukan “si penakut” karena selalu minta ditemani kalau masuk ruangan yang dia katakan makhluknya jail dan dia takut sendirian. Tetapi, karena sang ibu dulu juga mengalaminya, keadaan “lebih beres” daripada mempunyai ibu yang tidak melihat dan tidak percaya bahkan memvonis gila.
Putra ketiga memiliki intuisi tajam seperti kakak pertamanya dan suka menjadi mitra bersama ibunya untuk memprogram keinginan-keinginan mulai dari mendapatkan tempat parkir yang gampang di mal-mal yang ramai sampai mendapatkan barang-barang keperluan yang sulit didapat, sehingga bisa didapat dengan mudah karena hanya mereka berdua menyatukan pikiran untuk mendapatkannya. Tinggal sang ayah yang sering dibuat bengong dan sering diteriaki “uuh ayah telmi deh”.
Coba kita lihat di film-film barat bagaimana pihak kepolisian merekrut orang-orang indigo yang disebut juga cenayang untuk membantu mengungkap kejahatan yang pelik untuk diungkap secara nalar normal. Bahkan, ada sekolah-sekolah atau perkumpulan khusus untuk orang dengan bakat itu. Teman penulis mendapatkan gelar S3-nya dari Amerika untuk bakatnya itu dan merasa sangat bahagia karena toh sekarang dengan karunianya dia bisa membantu sesama dan memerlukannya.
Di Amerika, anak jenius yang ditulis oleh Ibu Theresia Sujanti tersebut langsung ditangani dan diangkat jadi aset negara.
Tetapi, di Indonesia perhatian untuk anak jenius saja masih tanda tanya, apalagi untuk anak indigo yang sering dicemooh “ada-ada saja”.
Nah, sangat disayangkan bukan, diharapkan ada yang mau memelopori dan mendanai untuk membuat klub khusus supaya mereka bisa menarik manfaat dari karunianya. Tidak sedikit anak indigo yang kebingungan dengan kemampuannya menjadi frustrasi dan akhirnya menempuh jalan yang salah dalam mengarungi hidup ini, seperti terjebak dalam pemakaian narkoba karena ingin menghilangkan apa saja yang mereka alami dari lingkungannya yang selalu mencemooh dan mengecapnya sebagai orang miring, anak kacau, anak pembangkang dan sebagainya.
Mungkin bagi orang yang tidak mengalami akan terus mencemooh, tetapi penulis yakin di Jakarta saja banyak orang yang masuk kategori indigo child, bahkan beberapa orang yang punya nama besar dengan keahliannya yang memadai, seperti seorang psikiater anak, psikologi, dokter, dosen, guru atau siapa saja yang mau memikirkan masa depan anak-anak, diharapkan untuk membantu mendirikan klab khusus untuk anak-anak itu, dan memberi pengarahan yang benar, agar keadaan anak indigo yang frustrasi tidak menimbulkan kejengkelan, kekacauan keluarga atau “keaiban keluarga” karena dianggap punya anak cacat, yaitu sakit jiwa sungguh memalukan.
Jangan menutup kemungkinan bahwa mereka semua bisa berguna bagi kepentingan umum dengan bakat-bakatnya. Setahu penulis untuk orang dewasa di Jakarta sudah ada klub metafisika yang mengadakan kegiatan berkumpul untuk berdiskusi di kalangan mereka sesama anggota dan diadakan sebulan sekali bertempat di suatu hotel di bilangan Jakarta Selatan, tetapi untuk anak sampai remaja sangat diharapkan dan dinantikan terwujudnya klab tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar